Dengan anggaran yang begitu besar di tengah gegab gempita zaman Otonomi Khusus di Papua seperti ini, pemerintah harus fokus membiayai pembangunan, pendidikan, kesehatan dan perekonomian yang lebih memihak orang asli Papua. Walau sebagian besar telah dilakukan, masih saja wajah pendidikan di Papua terus meninggalkan sebuah paradoks yang memilukan hati setiap generasi Papua sebagai pemuda, pelajar dan mahasiswa penerus kelangsungan hidup negeri ini.
Seperti yang dialami oleh puluhan anak-anak Papua yang masih usia produktif. Lari dari sekolah, cuti dari kampus hanya untuk bekerja sebagai tenaga pengangkut kayu di hutan di Kecamatan Kota Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Bekerja dengan modal semangat dan otot, sebagai tenaga pengangkut kayu yang dibayar dengan upah murah. Namun bagi mereka adalah berkat yang cukup memberikan mereka harapan untuk terus bertahan di tengah peliknya kehidupan, terlebih untuk menjaga mimpi meraih pendidikan setinggi mungkin dikemudian hari.
Hal itu diungkapkan oleh Derek Asmuruf, seorang pekerja pengangkut kayu, dilokasi Waiwo Raja Ampat, pemuda asal Kota Sorong yang ketika menerima hasil kelulusannya dari bangku SMK Negeri 3 Sorong tahun 2012 lalu, ini mengaku sempat tenggelam dalam eforia kelulusan dengan begitu riang namun rasa itu hanya sejenak, karena rasa takut dan kecewa telah menghantui hatinya dan para orang tua yang kesulitan dalam pendapatan ekonomi untuk meneruskan pendidikannya ke tinggal perguruan tinggi atau kuliah.
“Kita musti produktif dan tidak boleh cengeng, jangan selalu menunggu di rumah, kita harus berusaha dengan kerja keras untuk tetap menjaga harapan hidup, terlebih harapan mendapatkan pendidikan yang layak. Karena pendidikan merupakan pintu gerbang untuk keluar dari kemiskinan,” Ujarnya saat di temui di Raja Ampat, belum lama ini.
Kepada JERAT Papua, dirinya mengaku dibeberapa lokasi penebangan di Waisai, rata-rata anak usia produktif yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah dan duduk di bangku kuliah yang cuti untuk bekerja sebagai tenaga pengakut kayu.
“Dua anak SMP dan SMA yang putus sekolah dan sebagian besar rata-rata adalah pemuda putus kuliah yang mencari uang untuk kebutuhan hidup, terutama untuk biaya pendidikan,” ungkap pemuda berusia 23 tahun yang sempat kuliah 2 semester di salah satu kampus di Kota Sorong ini.
Alasan saya dan teman-teman masuk hutan sebagai tenaga pengangkut kayu, karena bayarannya cukup besar, ketimbang sebagai tenaga bongkar di lokasi penjualan kayu di kota.
Karena kayu lombo ukuran 5×5, satu kubik sebanyak seratus batang kita dihargai Rp.400.000,- dan kayu lombo ukuran 5×10, satu kubik sebanyak 50 batang biasanya kita bayar Rp.400.000,- dan untuk kayu besi ukuran 10×10 satu kubik sebanyak 25 batang kita dibayar Rp.700.000,- sedangkan papan kayu lombo 1 kubik sebanyak 40 lembar kita dibayar Rp.400.000,- untuk kayu besi kita dibayar Rp.700.000,-
Biayasanya kita hadapi di lapangan banyak pikul kayu lombo, karena kayu besi hanya dibelah oleh operator sensor berdasarkan pesanan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan kayu dilapangan kita masing-masing biasanya mengakut kayu 1 sampai 2 kubik per orang jika kerjanya mulai dari pagi hingga sore hari.
“Tidak perna ada kata mengeluh, kita selalu iklas agar Tuhan memberkati pekerjaan kita, supaya kita bisa melihat kebahagiaan keluarga seumur hidup kita, dan melihat anak-anak kita kelak, bisa damai sejahtera” tandasnya penuh harapan.