Pemilihan kepala daerah langsung atau berdasarkan partisipasi masyarakat akhirnya tak berlaku lagi. Dewan Perwakilan Rakyat memutuskan menghapus pilkada langsung dalam revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Apa pengaruhnya bagi Papua?
Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan sistem Pilkada lewat DPRD, telah sesuai dengan budaya keterwakilan di Papua seperti noken atau lewat kepala suku. “Kita kan minta kekhususan. Ini melekat di DPRD baik untuk kepala provinsi, walikota atau bupati. Kita kan sudah ada noken atau keterwakilan. Itu bukan sistem yang baru,” ujar Lukas.
Dia mengatakan pilkada langsung belum siap dilakukan di Papua. Ada beberapa alasan yang menurutnya sistem ini sulit diterapkan di daerah paling ujung timur di Indonesia ini. Selain perpecahan komunitas suku, pilkada langsung tidak cocok dengan kondisi geografis alam di Bumi Cenderawasih.
Lukas mengungkapkan, jika memang waktunya sudah siap, Papua bakal terbuka dengan sistem pilkada langsung. “Namun belum sekarang, ke depan semua terbuka, tidak ada lagi sistem kepala suku, tidak ada lagi sistem noken,” kata mantan Bupati Puncak Jaya tersebut.
Pengesahan UU Pilkada lewat DPRD diputuskan, Kamis pekan lalu. Ketetapan itu diambil setelah paripurna menggelar voting atau pemungutan suara. Kubu pendukung pilkada langsung dari poros koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla kalah telak dari kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, pendukung pilkada melalui DPRD.
Koalisi Jokowi-JK yang terdiri dari PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai Hati Nurani Rakyat hanya mampu mengumpulkan 125 suara. Jumlah itu termasuk pecahan 11 dari Partai Golkar dan 4 suara dari Demokrat. Namun kubu Prabowo-Hatta yang terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, serta Partai Keadilan Sejahtera, jauh lebih unggul dengan 226 suara.
Pemungutan suara yang dimulai pada pukul 01.10 WIB itu, setelah paripurna berlangsung alot. Selain kubu Jokowi-JK dan kubu Prabowo-Hatta yang mengusulkan masing-masing opsi pemilihan, Partai Demokrat juga mengusulkan satu opsi lainnya yakni pemilihan langsung dengan 10 perbaikan.
Mulanya ketiga kubu mempertahankan opsi masing-masing. Namun kubu Jokowi-JK akhirnya mengalah pada opsi Demokrat baik dalam forum lobi maupun di paripurna. Namun keputusan kubu presiden dan wakil presiden terpilih itu malah tak digunakan oleh Demokrat. Partai berlambang Mercy dengan 129 suara memilih walk out atau meninggalkan paripurna.
Selain Enembe, sejumlah tokoh masyarakat di Papua juga menyatakan dukungan terhadap pemilihan kepala daerah tidak langsung. Mereka meminta pemilihan oleh DPRD bisa dimasukan ke dalam revisi Undang Undang Otsus Papua yang kini tengah dibahas DPR RI.
Para tokoh yang tergabung dalam Tim Perancang Undang Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Papua ini mendatangi kantor Fraksi Partai Golkar di Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta, Selasa (9/9) untuk menyampaikan aspirasi tersebut. “Kita ingin sistem pilkada tidak langsung dimasukkan dalam RUU Otsus. Pertimbangannya, situasi di Papua kalau pilkada langsung terlalu banyak konflik sampai-sampai merusak tatanan adat dan keluarga di Papua,” kata Ketua Tim, Basir Rohrohmana.
Menurut pria yang juga Dosen Ilmu Politik Universitas Cendrawasih ini, pilkada langsung di Papua lebih banyak mudharatnya. Pasalnya, bukan cuma menelan biaya besar tapi juga memakan korban jiwa.
Hal senada dilontarkan anggota Komisi B DPR Papua Thomas Sondegau. Ia menambahkan, mekanisme pilkada tidak langsung merupakan aspirasi mayoritas masyarakat Papua.
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan, beberapa waktu lalu DPR Papua pernah menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat untuk membahas revisi UU Otsus. Hasilnya, sebagian besar setuju pilkada tidak langsung harus masuk dalam revisi tersebut.
Thomas menolak jika Pilkada tidak langsung dianggap tak demokratis. “Di Papua, gereja bisa pecah karena Pilkada. Jadi, pemilihan lewat DPRD juga konstitusional,” jelasnya.
Legislator DPRD Mimika, Agustinus Anggaibak berpendapat, pemilihan kepala daerah mulai dari tingkat bupati/wali kota hingga gubernur, lebih cocok lewat DPRD.
Menurut politisi yang pernah bertarung dalam Pilkada Mimika putaran pertama pada 10 Oktober 2013 itu, sistem Pilkada langsung sesungguhnya sangat baik karena rakyat mengetahui secara rinci kualitas calon kepala daerah yang hendak dipilih. Namun dari pengalaman selama ini, katanya, suara yang telah diberikan rakyat, banyak “disunat” oleh penyelenggara Pemilu mulai dari tingkat KPPS hingga KPU. “Secara jujur, kita harus akui bahwa birokrasi yang dibangun oleh KPU dan perangkatnya telah memperkosa suara rakyat. Akibatnya calon-calon menjadi korban. KPU dan perangkatnya hanya mengamankan kepentingan calon-calon tertentu. Itu bukan rahasia lagi. Jadi, siapa yang punya banyak uang, dia yang menang,” tuturnya.
Agustinus tidak menampik jika Pilkada melalui DPRD, hal itu akan pula melanggengkan praktik korupsi di tubuh lembaga legislatif. Untuk meminimalkan potensi korupsi tersebut, katanya, sistem pilkada harus dibenahi total. “Harus ada aturan-aturan yang jelas supaya dewan yang terima suap dari calon saat pilkada itu dihukum seberat-beratnya,” ujar wakil rakyat dari Partai Hanura itu.
Baginya, praktik jual beli suara pada pilkada langsung di Papua selama ini sudah sangat memprihatinkan, bahkan telah merusak norma-norma kehidupan berdemokrasi dan moral. “Sekarang ini permainannya sudah sangat gila. Akibatnya masalah terjadi dimana-mana, orang bisa saling membunuh karena memperebutkan suara.”
Kontroversi
Kontroversi pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada terus berlanjut. Pengamat Politik, Mada Sukmajati, menilai pilkada langsung maupun tidak langsung sebenarnya tidak melanggar demokrasi dan bersifat konstitusional.
Namun, kata dia, yang menjadi persoalan terletak dari proses pengambilan kebijakan. Mada menegaskan tidak ada perdebatan substansial di parlemen dan masyarakat mengenai dikembalikannya pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Mada sependapat bahwa dikembalikannya pilkada lewat DPRD adalah sebuah bentuk kemunduran proses pembelajaran demokrasi yang sudah berlangsung di Indonesia. Bahkan, menjadi kemunduran dari desentralisasi otonomi daerah. “Satu poin penting, diberlakukannya otonomi daerah itu terdapat daulat rakyat memilih pemimpin lokal,” kata Mada.
Mada mengatakan revisi UU Pilkada ini sebagai bentuk peninggalan buruk dari hasil pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Saya kira ini blunder terbesar justru terjadi di masa akhir pemerintahan beliau.”
Belajar dari UU Pilkada ini, ia mengingatkan tidak menutup kemungkinan akan ada poses pengambilan kebijakan publik yang terburu-buru. Juga, kata dia, pembahasan nantinya tidak berdasarkan dari hasil studi empiris.
Pengesahan UU Pilkada lewat DPRD dinilai menjadi sejarah hitam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir masa jabatannya. Parpol kabinetnya yang mengklaim punya semangat reformasi justru tidak memberikan suaranya sesuai dengan kehendak rakyat.
Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi mengatakan, sikap reformis PAN, PKS dan Demokrat yang dinilai sebagai antitesis Golkar telah gugur. Mereka justru mendukung program yang pernah berlangsung pada era Presiden Soeharto. “Lain mulut, lain perbuatan, ini merupakan sejarah terhitam era SBY. PAN dan PKS sebaiknya membubarkan diri untuk bergabung dengan Golkar. Karena hakikat reformasi yang diperjuangkan dahulu telah hangus,” kata Fahmi.
Ketika itu, kata dia, pendiri PAN, Amien Rais menyampaikan pidatonya dalam majelis amanat rakyat (Mara) dan menyatakan akan mendukung pilkada dan pilpres langsung. Parpolnya juga bertekad akan memperjuangkan agenda reformis. Namun, sikapnya saat ini justru sejalan dengan Golkar Orde Baru.
(Jerry Omona/dari berbagai sumber)